Mbah
Kyai Musta’an punya dua orang putri yang cantik – cantik. Banyak santri –
santri yang berharap bisa menjadi menantu kyainya. Nama keduanya adalah ning Rani dan adiknya, ning Dina. Di mata para santri, keduanya bagai bidadari. Wajahnya
yang manis, dipadu dengan caranya berjalan yang lemah gemulai membuat siapa
saja yang melihat ingin memiliki.
Suatu
ketika, ning Dina sakit. Dia yang biasanya lincah berlari kesana – kemari,
kini terbaring di atas tempat tidur. Sang kakak merasa sedih melihat kondisi
adiknya. Setiap hari, ning Rina selalu menemani sang adik yang terbaring lemah.
Sore
itu, mbah kyai Musta’an baru selesai mandi. Beliau menyempatkan diri masuk ke
kamar putrinya. Mbah kyai yang memang terkenal kocak mencoba melontarkan
pertanyaan, agar kedua putrinya tak selalu bersedih.
“Din!!!!”, panggil mbah kyai.
“Dalem bah”, jawab ning Dina lirih.
“Pe’ak tu apa?”,tanya mbah kyai.
“Pe’ak bah?”, tanya ning Dina bingung.
“Iya, katanya itu singkatan?”, kembali
mbah kyai bertanya.
“bukan bah, itu bukan singkatan”
bantah ning Dina.
“singkatan kok”, sahut mbah kyai tak
mau kalah.
“masak itu singkatan mbak?”, tanya
ning Dina pada kakaknya.
“bukan bah, itu bukan singkatan”, kata ning Rina meyakinkan
“ya sudah, pe’ak itu apa?”, kembali
mbah kyai bertanya.
“pe’ak ya pe’ak”, kata ning Dina. Dia nggak
berani menjelaskan. Saru kata orang jawa.
“nggak tau kan??”, tanya mbah kyai.
Kedua putrinya menggeleng hampir
bersamaan.
“eee... dasar, pe’ak lu...”, kata mbah
kyai sambil ngeloyor pergi.
Kedua putrinya hanya bisa melongo. Setelah
sadar, barulah mereka tertawa karena berhasil dikerjai oleh abahnya.
0 komentar:
Posting Komentar